Lagi-lagi membahas kontroversi antara ibu bekerja dan tidak? Mau sampai kapan? Well, barangkali ada yang bertanya seperti itu ya waktu membaca tulisan saya yang dimuat di rubrik Mimbar Kita, Harian Amanah pada Hari Ibu lalu.
Saya hanya bermaksud menuliskan hal-hal yang berkembang dalam pemikiran saya. Siapa tahu ada yang mau diajak untuk berhenti memperdebatkan masalah kontroversi itu. Sebab pada kenyataannya setiap orang punya alasan berbeda untuk pilihannya dan tak ada yang berhak menghakimi. Tak ada orang yang berhak mengklaim dirinya yang paling benar lantas kemudian saling mengolok-olok satu sama lain. Karena alasan:
- Allah melarang saling mengolok-olok.
- Saling mengolok-olok tidak pantas di antara orang dewasa.
- Anak-anak kita akan belajar mengolok-olok dari kita dan kelak akan berlaku demikian kepada orang yang pendapatnya berbeda dengannya. Kalau mereka berdosa, kita pun ketiban dosanya.
Sayangnya, masih saja ada yang saling menyalahkan satu sama lain karena merasa dirinya paling benar.
Seperti suatu saat, ada seorang kawan yang bertanya kepada ibu saya, “Tante, Niar kerja di mana?” Ibu saya menjawab, “Tidak kerja. Dia di rumah saja, mengurus anak-anaknya.” Lantas teman saya menjawab, “Iiih sayangnya.” Atau ada anggapan bahwa ibu yang bekerja pasti tidak bisa dekat dengan anak-anaknya.
Haloooooooo. Excuse me. Mengapa berani-beraninya berkata demikian?
Coba perhatikan sekeliling kita. Tak semua ibu yang tak bekerja menjadi otomatis dekat di hati anaknya. Sama halnya, tak semua ibu bekerja membengkalaikan anaknya! Lalu kata siapa kalau tak bekerja berarti tak ngapa-ngapain yang kemudian disetarakan dengan pembantu rumah tangga karena hanya dianggap mengerjakan pekerjaan remeh-temeh?
Please, deh ah. Kita tak pernah tahu latar belakang dan alasan orang memilih sesuatu. Kalau kita menyerang seseorang dan orang itu berganti pilihan lalu hidupnya menjadi lebih berantakan, bukankah kita menjadi berdosa?
Setiap orang punya kondisinya masing-masing. Setiap rumah tangga punya visi dan misinya masing-masing. Apakah suami dan istri sudah melakukan kewajiban mereka seperti yang kita pikirkan, bukanlah urusan kita!
Allah berfirman dalam Q.S. Al Hujuraat: 11, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Allah SWT juga melarang kita untuk menghina sesama dengan cara meremehkan dan mengolok-olok. Sebagaimana yang termaktub pula dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW: “Takabur adalah menentang kebenaran dan meremehkan (merendahkan) manusia.” (HR Muslim).
Saya memulai tulisan dengan penemuan ahli psikologi mengenai hormon oxytocin yang mendatangkan perasaan bahagia pada ibu dan anak. Ibu adalah mata air bagi anak. Sumber kebahagiaan anak di dalam rumah. Karenanya Ibu PERLU dan PANTAS merasa bahagia agar bisa “menyediakan” perasaan bahagia bagi seisi rumah. Salah satu hal yang membuatnya bahagia adalah bila segala yang dilakukannya keluar dari hati yang tulus, entah itu pekerjaan rumah sehari-hari ataupun pekerjaan lain yang membuatnya bahagia. Jika dirinya merasa cukup bahagia, tentu seberat apapun pekerjaan yang harus dilakukannya setiap hari, akan terasa ringan.
![]() |
Dimuat di Harian Amanah, 22 Desember 2015 |
Perempuan suka saling curhat karena perempuan yang tahu menanggapi perempuan lain curhat. Berbeda curhat kepada lelaki dan kepada perempuan. Perempuan curhat biasanya karena ingin diperhatikan dan didengar. Tidak selamanya ingin diberikan solusi. Sementara bagi laki-laki, curhatnya perempuan itu karena menginginkan solusi. No. Tidak selalu! Kecuali kalau memang ia minta solusi, nah baru bisa dikasih solusi.
Kalau curhat sama lelaki, mereka tidak menanggapinya sama seperti perempuan (kecuali kalau si lelaki memang benar-benar memahami makhluk yang berjudul perempuan). Sering kali tanggapan perempuan membuat sesama perempuan nyaman. Yah, tapi beda orang bisa beda pendapat, sih ya. Ada juga yang perempuan yang lebih suka curhat kepada lelaki. Maksud saya, saya mau bawa pembahasan saya ini kepada ajakan untuk sama-sama saling menguatkan. Kalau ada saudari kita yang curhat dan pilihan mereka berbeda, ya jangan di-pacci’da’ (ini istilah orang Bugis/Makassar, maksudnya jangan malah diberi kata-kata, “Rasakan. Toh kamu sendiri yang pilih!”). Tak perlulah membanggakan pilihan kita dan membanding-bandingkannya dengan pilihan saudari kita.
Sesama perempuan, sesama “tiang negara” yang sekaligus madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anak bangsa, mari saling berpegangan tangan. Saling menguatkan. Agar anak-anak kita bisa tumbuh dengan bahagia karena ibu mereka bahagia. Era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) sudah di depan mata. Dalam dunia yang makin tak jelas batas antarnegaranya, mari menumbuhkan anak-anak Indonesia dengan rasa nyaman supaya mereka kuat dan tak saling menghujat sesama anak Indonesia. Supaya mereka mumpuni menyongsong masa depan mereka yang tantangannya berbeda dengan yang kita hadapi.
Makassar, 27 Desember 2015
Lebih lengkapnya tulisan saya bisa dibaca di sini.
Baca juga tulisan saya, edisi Hari Ibu yang dimuat di Harian Fajar: Perempuan dan Blog.