Saya melewatkan banyak acara di MIWF 2016. Usai menghadiri acara bertajuk Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature di Aula Aksa Mahmud, Universitas Bosowa pada hari kedua (tanggal 19 Mei 2016), saya tak kembali lagi ke Fort Rotterdam pada sore harinya karena satu dan lain hal. Tanggal 20 Mei, saya hanya khusus menghadiri Kids Corner karena putri saya Athifah akan bercerita di hadapan hadirin di Kids Corner.
![]() |
Mira Lesmana (tengah) dan Erwin Arnada (kanan) |
Baru pada keesokan harinya (tanggal 21 Mei 2016), saya menghadiri Panel Discussion: Don’t Judge the Book by It’s Movie yang diselenggarakan di Same Hotel. Diskusi yang berlangsung adalah seputar:
Bagaimana seharusnya memandang film yang berasal dari buku?
Sesi 1: Mira Lesmana dan Erwin Arnada
Saat saya datang, sesi pertama diskusi yang menghadirkan Mira Lesmana (produser film AADC 2) dan Erwin Arnada (sutradara film Rumah di Seribu Ombak) sebagai nara sumber sedang berlangsung. Menyimak pembicaraan mereka, bisa ditarik kesimpulan bahwa menonton film yang sudah lahir novelnya terlebih dahulu, jangan terlalu berharap kesamaannya. Mengapa? Simak apa kata Mira Lesmana dan Erwin Arnada – mewakili orang-orang yang membuat film berikut ini:
Mira Lesmana
Dalam menonton film, pandanglan film dari sudut pandang pembuat filmnya (jangan berkeras pada sudut pandang kita setelah membaca bukunya).
Paling enak membuat film yang sudah ada novelnya, lebih enak eksplorasinya. Jika tidak ada buku, maka ada beberapa angle yang harus ditinjau dalam membuat film. Misalnya film Kartini, ada beberapa angle. Beda kalau buat naskah yang benar-benar original. Apalagi kalau bukunya banyak, seperti So Hok Gie. Membuat film yang original story itu tidak mudah karena setelahnya ada biaya promosi film dan harus ekstra kerja keras. Kalau memfilmkan buku yang sudah dikenal, sudah ada pasarnya, yaitu pembaca buku itu sendiri dan masih bisa digaet penonton lain.
Mira sebenarnya ingin sekali memfilmkan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer tapi ia gagal. Dan lucunya, ada film yang “takut” ia tonton karena sudah telanjur suka pada bukunya (takut filmnya di luar ekspektasinya). Di atas semuanya, Mira senang memperkenalkan lokalitas melalui film.
Mengenai AADC yang akan dinovelkan (sudah ada penawaran dari sebuah penerbit besar), Mira memberi kebebasan kepada penulisnya.
Erwin Arnada
Pengalaman literal berbeda dengan pengalaman visual. Novel itu karya literal. Film adalah karya komunal yang visual. Banyak aspek yang tidak ada di buku akan mempengaruhi filmnya. Persiapkan di Anda (sebagai penonton) karena (saat nonton film) Anda memasuki wilayah berbeda.
Semakin besar tokoh, semakin sulit difilmkan, semakin harus berhati-hati membuat filmnya. Hati-hati dalam berekspektasi pada film.
![]() |
Gina S. Noer (tengah) dan Ika Natassa (kanan) |
Sesi 2: Gina S. Noer dan Ika Natassa
Seingat saya ini kali kedua Gina S. Noer hadir di MIWF. Saya pernah menuliskan sesinya pada MIWF dua tahun lalu pada tulisan berjudul [MIWF 2014] Menjadi Pencerita yang Otentik. Kali ini, penulis naskah beberapa film layar lebar ini (salah satunya adalah film Habibie – Ainun) kembali menjadi penulis tamu di MIWF tahun ini.
Menurut Gina, menyalin mentah-mentah dari novel menjadi naskah film itu “gak asyik” karena menulis novel dan naskah film memang berbeda. Less is more, karena durasi film terbatas. “Semakin tidak setia pada novel maka semakin baguslah filmnya,” tutur Gina.
Ika Natassa mengatakan bahwa tantangan memproduksi film dari buku adalah ekspektasi dari pembaca dan penonton. Kalau novelnya difilmkan, ia mempersyaratkan kalau film itu tidak boleh “mengkhianati” esensi cerita. Ia berdiskusi dengan pembuat film yang akan memfilmkan novelnya. Ika ini keren, lho. Saat ini ada 3 novelnya yang akan difilmkan!
Sayangnya, saya tidak bisa berlama-lama pada sesi ini karena pukul 4 sore saya sudah harus ke Fort Rotterdam untuk menghadiri Kids Corner. Anak-anak saya juga punya agenda di MIWF tahun ini, seperti juga di MIWF-MIWF sebelumnya.
Makassar, 4 Juni 2016
Baca juga:
- MIWF 2016: Foto yang Bercerita
- MIWF 2016: Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature
- Cerita-cerita lain dari MIWF-MIWF sebelumnya