Quantcast
Channel: Mugniar | Mamak Blogger Makassar
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1573

Isu Anak, Bukan Hanya Engeline

$
0
0
Tulisan ini merupakan tulisan ke-5 mengenai Pelatihan Jurnalistik Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan (LBH APIK, 10 – 11 Agustus 2015). Tiga tulisan sebelumnya adalah: Menggugah Kepedulian Jurnalis Melalui Kritik MediaKekerasan dan MediaAgar Media Berperspektif Gender, dan Sudut Pandang Hukum yang Bisa Digunakan dalam Menulis Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak.

Menjelang penghujung pelatihan hari pertama, Pak Rusdin Tompo mengingatkan para jurnalis mengenai 9 elemen jurnalisme yang dikutipnya dari buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel, penerbit Yayasan Pantau, Jakarta, 2006:

  1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
  2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
  3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
  4. Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
  5. Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan.
  6. Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat.
  7. Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan.
  8. Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional.
  9. Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Sumber: www.amnesty.org.uk
“Kelihatannya kasus-kasus (yang banyak diulas media – red) biasa tetapi ada yang tidak tergali di situ. Bicara kemerdekaan pers, dibicarakan semangat menyebarluaskan, meliput, memberitakan dan lain-lain. Kita lupa bahwa kebebasan pers juga bicara mengenai demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Kemerdekaan Pers menurut UU Pers (Bab II Psl 2)). Dan, masalah perempuan juga adalah masalah keadilan,” kata Pak Rusdin.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran: bukan sekedar kebenaran faktual tapi kebenaran hakiki. Fakta dan data tidak harus selalu ditampilkan apa adanya kalau itu justru memberikan dampak yang tidak baik kepada perempuan/anak.

Pada hari kedua (11 Agustus 2015), Pak Rusdin Tompo menjadi pemateri pertama. Materi yang disampaikannya amat padat. Saya harus berhati-hati mencernanya supaya “gelas kosong” di dalam kepala saya terisi dengan benar dan baik dan “air” yang dituangkan Pak Rusdin tidak mengalir ke mana-mana.

Sebelum materi masuk terlalu jauh dan telalu dalam, Pak Rusdin menjelaskan mengenai Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ternyata, ada dua lembaga yang berbeda. Selama ini saya pikir, hanya ada satu lembaga “di tingkat nasional” yang mengurusi urusan “perlindungan anak”. Saya baru ngeh ketika Pak Rusdin mengatakan bahwa Erlinda (sekretaris KPAI) itu tak pernah terlihat bersama-sama dengan Arist Merdeka Sirait (Komnas PA).

Wartawan pun sering rancu, mengira kedua lembaga ini sama. Coba lihat di Wikipedia. Komisi Nasional Perlindungan Anak (disingkat Komnas PA) adalah organisasi di Indonesia dengan tujuan memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta mencegah berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh Negara, perorangan, atau lembaga. Komnas PA didirikan pada tanggal 26 Oktober 1998 di Jakarta (sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Nasional_Perlindungan_Anak).

Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (disingkat KPAI) adalah lembaga independen Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004 merupakan dasar hukum pembentukan lembaga ini. Anggota KPAI pusat terdiri dari 9 orang, berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 orang anggota (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Perlindungan_Anak_Indonesia).

Kalau Komnas PA pendanaannya dari Kementeian Sosial, KPAI berada di bawah Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. Nah, setelah mendapatkan pencerahan mengenai hal ini, mudah-mudahan ke depannya tak mengacaukan antara keduanya.

Sekarang kita pindah ke seputar isu anak. Sebenarnya ada banyak hal penting menyangkut isu anak yang patut menjadi berita[1]. Misalnya saja pada masa-masa awal, sebelum adanya Lembaga Perlindungan Anak, isu anak adalah: anak jalanan, gizi buruk, dan anak putus sekolah. Kasus penelantaran anak di Cibubur dan kasus pembunuhan Engeline merupakan dua kasus yang paling banyak menyita perhatian media. Menurut Indonesia Indicator (I2)[2], kasus tersebut merupakan puncak gunung es dari permasalahan penelantaran anak. Sebab, berdasarkan data dari Kemensos masih ada 4,1 juta anak telantar di Indonesia.

Isu-isu penting lainnya terkait anak yang sebenarnya perlu dukungan media adalah:
  • Mengenai kepemilikan akte kelahiran. “Hampir setengah dari anak di Indonesia tidak tercatat kelahirannya, ini berarti secara legalitas formal, anak-anak itu tidak diakui kewarganegaraannya, begitu logika hukumnya,” ujar Pak Rusdin Tompo.
  • Pekerja anak: waktu luangnya hampir tidk ada, tersita utk pekerjaannya. Pendidikannya terganggu (bedakan dengan “anak yang bekerja”. Anak yang bekerja itu: membantu orang tua, sebagai bagian pendidikan).
  • Bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak: jenis pekerjaannya membahayakan moralitas (misalnya: prostitusi anak).


Makassar, 24 Oktober 2015

Masih bersambung ke tulisan berikutnya yaa

  



[1]Namun sayangnya tak dianggap penting oleh media massa, cenderung yang dianggap berita adalah kasus-kasus seperti kasus Engeline – red
[2]Indonesia Indicator adalah lembaga riset berbasis software Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis fenomena politik, ekonomi, sosial di Indonesia (lihat www.indonesiaindicator.org).

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1573

Trending Articles