Sebisa mungkin saya mencoba menghindar dari hiruk-pikuk pemilihan presiden (pilpres) di media sosial. Dengan jarang scroll Beranda Facebook, rasanya cukup aman. Kalau pun saya gulirkan ke bawah, paling banyak sekira 10 status yang saya lihat dan minim sekali yang berbau pilpres. Lega, mungkin algoritma Facebook sudah bekerja memenuhi “keinginan” saya, ya .
Tidak sampai di situ. Akan ada iming-iming hadiah yang lebih besar lagi jika menyetor KTP-nya sebagai pemilih sang caleg. Berhadiah umroh! Wah wah wah, makin memberontak hati ini mendengarnya.
“Nanti mau diundi, Dek. Ada hadiahnya. Tapi ndak bisa dibilang-bilang dulu. Ndak boleh ditahu,” sang kerabat kembali menjelaskan soal iming-iming hadiah bagi pemberi nomor KTP.
Berhari-hari saya menunda memberikan nomor KTP kedua orang tua saya kepada sang kerabat. Hingga akhirnya saya berikan juga.
Kadang-kadang saja kalau saya ingin tahu info tertentu sehubungan dengan topik tersebut, saya langsung ke akun atau grup tertentu. Baik itu info yang pro maupun kontra pada pilihan saya. Begini-begini saya juga pilihan sendiri dong tapi saya memilih tidak mengumbarnya ke media sosial.
Begitu pun di Tweet Land. Saya jarang mengamati Twitter. Biasanya sekadar share link postingan blog, habis itu langsung menutup aplikasi Twitter. Di grup-grup WA, yang rentan ada bahasan pilpres, share hoax, dan bahas calon legislator(biasanya di grup keluarga), biasanya saya clear chat sebelum membacanya. Jadi rasanya kehidupan dunia maya saya lumayan nyaman.
Namun rupanya saya tak bisa menghindari isu seperti ini di kehidupan nyata. Bukan soal banyaknya pemandangan poster dan baligo calon legislator (caleg) – bukan itu. Tapi tentang seorang kerabat yang tiba-tiba menghubungi via telepon dan datang ke rumah lalu meminta agar kami memilih kerabatnya yang jadi caleg pada tahun ini.
Oh, no. Ini bukan cara yang saya suka. Kalau datang ke rumah sekadar kampanye mungkin masih oke. Tapi ini sambil meminta tolong karena si caleg sering membantunya sekeluarga semenjak dulu, termasuk ketika suaminya meninggal dunia. Jadi, kami diminta untuk membalaskan budinya kepada si calon legislator yang bersangkutan dengan memilihnya.
Oh, tidak. Andai si kerabat ini melihat perubahan di mimik wajah saya, dia pasti paham kalau saya tidak suka cara ini. Bagi saya, memilih caleg sama dengan memilih presiden. Banyak yang harus dipertimbangkan.
Lalu saya mendapat cerita “kebaikan-kebaikan” si caleg, termasuk mengadakan pesta tahun baru bagi warga di sekitar tempat tinggalnya. Dia membuat jaket pula untuk dibagi-bagikan. Konon sudah begitu banyak uang yang dikeluarkannya.
Ulala. Andai kerabat saya ini tahu, semakin banyak uang yang dikeluarkan caleg untuk hal seperti itu malah semakin saya tak ingin memilihnya. Saya bukan orang yang bisa dipikat dengan hura-hura ataupun barang.
![]() |
Sumber: KPU |
Memang tak dipungkiri, masih banyak masyarakat yang mau memilih sosok tertentu dengan imbalan berupa barang atau sembako. Politik uang masih banyak, kawan. Pandangan sebagian masyarakat kita pun masih melihat, apa bentuk nyata yang sudah dilakukan sang caleg kepada lingkungannya?
Seseorang pernah mengeluhkan bahwa di lingkungan kami, di antara para caleg yang memajang gambar wajahnya – meminta dipilih, hanya satu yang menyumbangkan uangnya untuk pembangunan saluran drainase. Sudah pasti yang tak menyumbang apa-apa itu tak akan dipilihnya, begitu katanya.
Pandangan yang lebih meningkat sedikit karena lebih melihat lingkungannya, bukan melihat pemberian barang kepada dirinya sendiri. Sayangnya, saya juga bukan orang yang seperti itu. Lebih enak rasanya kalau merasa cocok dengan program sang caleg. Apalagi sudah tahu kiprah sang caleg dan tahu ideologi/idealismenya mengena dengan saya. Tak perlu kasih saya apa-apa.
Saya takut menerima sesuatu sekecil apapun itu karena rasanya seperti sogokan saja. Saya takut menerimanya karena dalam Islam, pemeluknya dilarang menerima dan memberikan sogokan. Dosa masa lalu saja belum habis, masak mau nambah dosa lagi? Lagi pula saya tak perlu barang dan uang sogokan. Kalau memang cocok dan sesuai dengan hati nurani saya, ya akan saya pilih tanpa disogok pun.
“Saya mi saja kita’ tolong kalau kita’ tidak kenal dia,” ucap sang kerabat kepada saya dan ibu saya.
Maksudnya, memilih caleg yang dia usung namanya itu berarti telah menolong kehidupannya. Apalagi dia digaji setiap bulannya untuk mencarikan pemilih. Mendapatkan tambahan pemilih tentunya sangat berarti bagi kredibilitasnya di mata sang calon legislator tersebut.
Oh Tuhan, rasanya seperti ada sesuatu yang memaksa dirinya berkelahi dengan hati nurani saya. Hal yang saya jaga setengah mati supaya bersih menurut versi saya.
Video dari KPU
Tidak sampai di situ. Akan ada iming-iming hadiah yang lebih besar lagi jika menyetor KTP-nya sebagai pemilih sang caleg. Berhadiah umroh! Wah wah wah, makin memberontak hati ini mendengarnya.
Saat pak suami pulang, saya ceritakan hal ini padanya. “Harusnya dia sendiri yang datang ke sini,” ucapnya. Dalam pikiran saya pun demikian ya. Bukan sekadar mengutus orang upahannya untuk datang. Mencalonkan diri sebagai wakil rakyat itu bukan semacam berdagang barang.
“Wah dari partai anu,” ucap suami saya ketika mengamati kartu nama si caleg. Nah, saya tahu, kalau dari partai itu, pak suami tak mungkin memilihnya. Begitu pun saya.
Positif, saya memang tak akan memilihnya. Tapi bagaimana menyampaikan kepada kerabat kami ini?
Berhari-hari kemudian, sang kerabat menelepon saya. Meminta nomor KTP seisi rumah kalau memang mau memilih kerabatnya.
![]() |
Ketawa dulu, ah bersama @DildoforIndonesia |
“Nanti mau diundi, Dek. Ada hadiahnya. Tapi ndak bisa dibilang-bilang dulu. Ndak boleh ditahu,” sang kerabat kembali menjelaskan soal iming-iming hadiah bagi pemberi nomor KTP.
“Iya, Kak, money politic itu. Tidak boleh, memang cara begitu,” saya berharap dengan jawaban itu sang kerabat bisa menebak saya seperti apa orangnya.
“Iya, makanya ndak dibilang-bilang dulu. Kasih ka’ nomor KTP, di’,” ucap sang kerabat lagi.
“Saya tanyakan dulu, ya, Kak sama Mama dan Papa,” jawaban saya mengakhiri pembicaraan kami.
Saya tahu kedua orang tua saya mudah luluh dengan kisah seperti kisah sang kerabat. Ketika permintaan dari telepon saya kabari kepada kedua orang tua saya, tanpa menyebutkan iming-iming hadiah, kedua orang tua saya langsung memberikan foto kopi KTP-nya.
Hati saya masih bertahan untuk menolak dan saya tak bisa mengkhianati hati saya. Alasan itulah yang menahan saya memberikan nomor-nomor KTP kedua orang tua saya selama berhari-hari.
Apa yang akan saya katakan padanya?
Video Panduan Pemungutan dan Penghitungan Suara
Pemilihan Serentak 2018 (KPU)
Berhari-hari saya menunda memberikan nomor KTP kedua orang tua saya kepada sang kerabat. Hingga akhirnya saya berikan juga.
“Ini nomor KTP Mama dan Papa, Kak,” tulis saya di pesan WA.
“Terima kasih, Dek,” jawabnya.
Saya menghela napas. Masih berpikir untuk menulis pesan lain.
“Minta maaf, saya tidak bisa, Kak. Ada yang saya janji,” tulis saya lagi.
Ya. “Ada yang saya janji” – yaitu diri saya sendiri. Saya sudah berjanji tak mau memilih caleg yang diusungnya karena semua proses yang sampai kepada saya tak sesuai dengan hati nurani saya. Dan saya lega sudah menunaikan janji saya.
Makassar, 11 Maret 2019
Baca juga: