Quantcast
Channel: Mugniar | Mamak Blogger Makassar
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1573

Telepon dari Bank Terkait Utang Orang Lain

$
0
0

Telepon Terkait Utang Orang Lain– Tangan ibu saya terlihat gemetar. Suaranya meninggi. Emosinya naik. Ini telepon keempat atau kelima kalinya dari sebuah bank swasta. Penelepon menanyakan nama yang sama. Selalu nama yang sama. Nama yang tak pernah saya lihat orangnya. Hanya tahu namanya, sebagai teman organisasi Ibu.


Ibu pada dasarnya bukan orang yang sabar. Menghadapi suasana seperti ini, kepanikan lebih menguasai dirinya ketimbang akal sehat. Bagi saya suara lelaki di seberang sana itu sama sekali tidak terdengar kasar. Suaranya “hanya” terdengar tegas – ketegasan khas lelaki dan dia sedang mengorek keterangan sebanyak mungkin.


Selain panik, ketakutan karena merasa terintimidasi sepertinya membuat emosi Ibu memuncak hingga tangannya bergetar seperti itu. Suara tegas dan pertanyaan beruntun lelaki di seberang sana membuatnya merasa under pressure. Ibu mengatakan tak suka cara lelaki itu yang kasar padanya, “Saya tidak suka begini. Kasar! Saya juga sakit-sakitan ini!”

Wajar saja apa yang dilakukan lelaki dari bank itu. Ini menyangkut perkara utang lelaki teman organisasi Ibu. Kira-kira 6 tahun lalu, teman organisasi Ibu – sebut saja namanya Pak S, mengambil kredit di bank. Dia mencantumkan nama dan nomor telepon ibu saya sebagai kerabatnya yang bisa dihubungi oleh pihak bank.

Ibu yang cepat luluh dengan permintaan orang yang baik padanya dan merasa dihargai oleh orang tersebut, mengiyakan saja namanya dicatut sebagai tante oleh Pak S. “Kasihan dan ingin membantu” itu alasan Ibu waktu itu.


Saya mencoba membantu menjawab telepon sebisa mungkin. Karena speaker di-set on, saya mendengar langsung apa yang dikatakan lelaki dari Jakarta – pusat bank swasta itu.

“Pak S itu teman organisasi ibu saya. Dia tidak tinggal di sini. Katanya Pak S lagi sakit, Pak. Dia kena stroke,” ujar saya.

“Katanya apa! Bukan ‘katanya’! Memang dia lagi sakit! Baru-baru ini Mama ke rumah sakit, orang rumah sakit kasih tahu dia dirawat di situ!” Ibu malah membantah keras perkataan saya di depan speaker yang lagi on.

Saya diam. Secara teknis, kalau saya mengatakan “katanya” itu karena saya tak kenal Pak S. Lagi pula saya bermaksud menekankan kalau kami memang tak mengenalnya. Ibu yang terlalu polos malah mementahkannya dan membuat kesan dirinya sangat mengenal Pak S.


Sekira 6 tahun yang lalu, ketika orang bank menelepon dan mengonfirmasi apakah memang Pak S kerabat Ibu, pernyataan itu diiyakan oleh Ibu. Jelas saja nomor telepon rumah kami yang dihubungi jika ada apa-apa terkait kredit yang diambilnya.

Sekira 4 atau 5 tahun yang lalu, qadarullah ibunda Pak S meninggal dunia. Tak lama kemudian, Pak S terkena stroke. Istrinya yang berasal dari pulau lain meninggalkannya. Perempuan itu baru dinikahinya sekira setahunan. Sejak itu, Pak S tak menempati rumahnya yang dulu lagi. Hingga sekarang Pak S dirawat oleh keluarganya dan tak ada yang tahu persisnya di mana alamatnya.

Siapa lagi yang dihubungi pihak bank kalau bukan nomor telepon rumah kami? Utang bank yang terus berbunga dan sudah bertahun-tahun lamanya tak terbayarkan tentunya membuat pihak bank mencari cara untuk menyelesaikannya.

Maka dari itu, beberapa kali pihak bank menelepon ke rumah. Beberapa teman seorganisasi Ibu menenangkannya dan mengatakan supaya Ibu tak ambil pusing dan bersikap cuekterhadap telepon dari bank.

Sumber: rumaysho.com

Tapi ya bagaimana juga bisa sama sekali cuek kalau kami bagaikan kekasih yang tak bisa terlupakan dan selalu kan terkenang? Biar bagaimana kan tidak enak juga bila sewaktu-waktu bisa saja menerima telepon dari pihak bank itu untuk mencari Pak S? Memangnya enak? Wong kami tak pernah menikmati uang yang dipinjamnya itu, koq!

Saya menyarankan ibu untuk menyampaikan perihal utang ini kepada kerabat Pak S. Yang awalnya keterangan mengenai alamat keluarga Pak S bagaikan gelap malam tak berbintang, akhirnya ada titik terang. Ibu saya mendapatkan nomor telepon dan alamat yang bisa dihubungi.

Saat dihubungi pertama kali, si empunya nomor lagi tak di tempat. Dihubungi kedua kali, tak ada yang mengangkat telepon. Ibu berencana mendatangi alamat yang dipegangnya bersama salah seorang kawan organisasinya yang juga kerabat kami.

Sang kerabat masih sibuk saat ini makanya belum bisa mengunjungi rumah kerabat Pak S. Saya mau melihat dulu bagaimana teman-teman organisasinya membantu penyelesaian masalah ini. Akan lebih kuat penekanannya jika Ibu datang bersama teman organisasinya itu ke sana.

Note for my self. Sumber: IslamPos
Well, marilah menjadikan hal ini sebagai pelajaran penting bagi kita semua. Jika ada yang meminta tolong mencatut nama kita sementara dia bukan kerabat tetapi dia cantumkan nama kita sebagai kerabatnya, lebih baik jangan diiyakan.

Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Sesuatu yang diawali dengan kebohongan, meskipun tujuannya baik, jangan harap pasti berakhir baik apalagi menyangkut bank dan bunganya.

Makassar, 20 Maret 2019

NB:
Mohon do’anya agar masalah ini cepat selesai ya, Kawan. Kasihan ibu saya, usianya sudah di angka 76. Seharusnya tidak lagi mengalami masalah yang sebenarnya bukan masalahnya seperti ini.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1573

Trending Articles