Banyak juga catatan dari Seminar Nasional Merawat Cagar Budaya Kitayang berlangsung pada tanggal 13 April lalu sehingga catatan saya terbagi ke dalam 3 tulisan. Pada tulisan terakhir ini saya kutipkan penyampaian Pak Yerry Wirawan – penulis buku Masyarakat Tionghoa Makassar yang juga dosen di Univesitas Sanata Dhama.
Pada awal presentasi berjudul Kota Makassar dan Sejarah Masyarakat Tionghoa, Pak Yerry menceritakan mengenai sejarah orang Tionghoa di Makassar. Menurutnya sulit sekali menyimpulkan ada orang Tionghoa yang datang pada masa itu.
Pada awal presentasi berjudul Kota Makassar dan Sejarah Masyarakat Tionghoa, Pak Yerry menceritakan mengenai sejarah orang Tionghoa di Makassar. Menurutnya sulit sekali menyimpulkan ada orang Tionghoa yang datang pada masa itu.
Keberadaan keramik yang berasal dari abad kesembilan atau kesepuluh tidak serta merta mengindikasikan keberadaan orang Tionghoa karena keramik digunakan sebagai alat tukar. Berdasarkan penelitian, catatan mengenai kebeadaan orang Tionghoa didapatkan dari orang Inggris. Saat itu – sebelum tahun 1615, ada orang Inggris yang ke Makassar yang bertemu orang Tionghoa yang sedang menyuling arak. Pada masa itu, Makassar belumlah ramai. Karena titik sentral perdagangan adalah di Malaka dan Maluku.
Para pedagang rempah-rempah dari Maluku mampir ke Banten, lalu membawa barang-barangnya ke Malaka, lalu Eropa – Belanda atau ke Tiongkok. Makassar belumlah jadi titik penting saat itu. Hingga kemudian Malaka diduduki Portugis pada tahun 1615.
Sejak itu Makassar menjadi pilihan tempat yang aman, para pedagang dari Malaka pergi ke Makassar. Bisa dipastikan orang Tionghoa ada di Makassar sejak 1615. Mereka berdagang kulit penyu untuk obat yang diperoleh dari Indonesia timur yang kemudian dikumpulkan di Makassar. Mulai ramailah Makassar dengan pendatang-pendatang dari Jawa dan Melayu.
![]() |
Pak Yerry (paling kanan) |
VOC tidak menganggap Makassar penting dalam perdagangan. Yang penting adalah Batavia. Itu makanya tidak semua kapal boleh ke Makassar. Orang-orang Tionghoa awal di Makassar adalah mereka yang ke Jawa dulu baru ke Makassar. Mereka punya keluarga di Jawa. Keluarga Nio – keluarga tertua di Makassar mengalaminya. Namun peta-peta awal orang Eropa tidak menunjukkan kampung Tionghoa dalam peta Makassar.
Penelusuran catatan sejarah yang menyebutkan keberadaan orang Tionghoa di Makassar ditemui dalam Sj’air Perang Mengkassar Karya Entji’ Amin (ca. 1667):
Di Kampung Tjina meriam jang tebal | serta ditémbakkan | kenalah kapal terus-menurus tampal-menampal | sangatlah duka hati Admiral
Catatan sejarah lain adalah: dari François Valentijn (1724 – 1726):
The city is just a small market town that is also called the Negory Vlaardingen, with only one large unpaved street, I think the Chinese street, and two or three smaller ones where the Dutch burghers, some Chinese under their captain, and some Makassarese and other natives live, and which can be closed and guarded by the Chinese and Burgher watch.
(Kota ini hanya sebuah kota pasar kecil yang disebut juga Negorij Vlaardingen dengan hanya satu jalan besar yang tidak rata, saya pikir itu jalan [perkampungan] Tionghoa, dan dua atau tiga jalan lebih kecil di mana penduduk Belanda dan beberapa orang Tionghoa dengan kapitennya serta beberapa orang Makassar dan pribumi bertempat tinggal. Tempat ini bisa ditutup dan dijaga oleh orang Tionghoa atau penduduk kota).
Dari penuturan Pak Yerry, bisa dipahami bahwa Makassar sudah sejak lama terbiasa dengan keberagaman. Pengumuman sering kali dibuat dalam 3 bahasa/aksara: Belanda, Arab, dan Tionghoa. Ada juga dalam 4 bahasa/aksara: Lontarak, Indonesia, Arab, dan Tionghoa.
Bangunan-bangunan orang Tionghoa juga mulai berdiri. Catatan awal adalah Klenteng Maco Po akhir abad ke-17. Selanjutnya pada abad ke-19: ada Klenteng Shengmu Xianma, inskripsi 1868, Bao’an Gong. Diperkirakan 1889, hancur saat PD II, Klenteng Guanyu, 1889 oleh orang-orang suku Kanton. Selanjutnya Rumah Abu keluarga Thoeng 1898 dan Rumah Abu keluarga Lie 1888.
Sejarah kota Makassar memang tak lepas dengan sejarah keberadaan orang Tionghoa yang kemudian berasimilasi dengan penduduk pribumi. Demikian pula halnya dengan sejarah datangnya orang Arab di Makassar. Namun sayangnya, terungkap di seminar ini sebagaimana yang dikatakan Pak Dias bahwa sejarah keberadaan orang Arab sulit dilacak dalam penelitian karena mereka mobilitasnya tinggi.
Saya pribadi berharap bisa menyimak sejarah orang Arab di Makassar juga suatu saat. Andai ada keturunan Arab yang menuliskan atau menelitinya sendiri, sebagaimana yang dilakukan Pak Yerry sampai beliau menerbitkan buku atau seperti Kak Irma Devita yang menuliskan sejarah perjuangan kakeknya (bisa dibaca di tulisan saya yang berjudul Menggali Sang Patriot, Bukan Sekadar Terpatri dalam Sejarah).
Pada tanggal 14 April, saya ikut rombongan Heritage Walk, berjalan-jalan di sekitar Pecinan. Hotel Dinasti (Jalan Lombok), tempat berlangsungnya acara memang terletak di kawasan Pecinan. Lahan hotel tersebut berdiri juga dahulunya merupakan lokasi sebuah sekolah Tionghoa yang dibangun pada masa kolonial.
Banyak juga tempat yang disambangi rombongan pejalan. Perinciannya sebagai berikut: Klenteng Pao Ang Kong yang juga merangkap sebagai Vihara Dharma Loka. Letak bersebelahan dengan hotel. Selanjutnya kami menyusuri jalan Lombok menuju rumah tua berarsitektur gaya Eropa klasik milik warga keturunan Tionghoa.
Perjalanan dilanjutkan ke Jalan Lembeh untuk melihat bekas Gedung Perkumpulan Cina KMT (Akademi Pajak Indonesia) yang kurang terawat dan nyaris rubuh. Di sebelahnya ada bekas Gedung Bioskop Ratu yang sekarang menjadi Rumah Pemujaan Arwah Leluhur yang dikelola oleh Yayasan Amal Sejahtera.
Perjalanan berlanjut ke Pasar Bacan (Bacang). Pasar itu termasuk pasar tradisional tua yang masih beroperasi hingga kini meskipun tidak tiap hari. Bisa dilihat pedagangnya tediri atas orang Makassar dan orang Tionghoa. Aneka daging, kue, sayur, dan ikan dijual di sana. Beragam ikan laut berukuran besar dijajakan.
Tidak jauh dari situ, berdiri Masjid As Said dan merupakan masjid tua yang dibangun oleh warga kota keturunan Arab di masa kolonial. Setelah masjid ada gedung Tjieng Njan dan Co., sebuah rumah tinggal tua bergaya Eropa.
Di Toko Kue Weng Heang Tjae yang berdiri sejak tahun 1935, beberapa dari kami membeli penganan khas Tionghoa. Ibu pemilik toko berbaik hati mempersilakan para pejalan mencicipi kuenya dengan gratis. Terakhir, kami melihat Rumah Leluhur Marga Thoeng dan Rumah Tinggal Kapiten Thoeng yang terletak di Jalan Sulawesi.
Pengalaman hari ini sungguh pengalaman baru dan berkesan bagi saya. Sedemikian lama hidup di Makassar saya baru tahu tentang sejarah orang Tionghoa dan melihat kawasan Pecinan dari jarak yang sangat dekat.
Besar harapan saya secara perlahan, generasi muda kita akan lebih enjoy mempelajari sejarah melalui metode yang lebih menarik. Sehingga mereka dapat menghargai sejarah beserta segenap “komponen penyusunnya”. Dimulai dengan adanya kerja sama antara Lembaga Lingkar– komunitas pemerhati sejarah dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan ini.
Foto yang paling bawah: dari Lembaga Lingkar
Makassar, 14 April 2019
Tulisan ke-3 (tamat) dari Seminar Nasional Merawat Cagar Budaya Kita.
Baca juga tulisan-tulisan sebelumnya: