Quantcast
Channel: Mugniar | Mamak Blogger Makassar
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1573

Access Bars: Tentang Ikhlas, Keinginan untuk Berubah, dan Kesadaran

$
0
0
Access Bars: Tentang Ikhlas, Keinginan untuk Berubah, dan Kesadaran - Kalau saya umpamakan, kondisi psikis saya serupa air dalam sebuah wadah. Maka ketika ada trigger yang memicu ke arah negatif, air itu seperti teraduk-aduk. Dan karena di dasar wadah ada kotoran yang tak bisa keluar maka air yang tadinya jernih berubah menjadi keruh.

Kisah Lama Tentang Luka yang Menyampahi


Bukannya saya tak mencari cara supaya air itu selalu jernih. Beberapa kali saya mengira telah berhasil mengeluarkan semua kotorannya karena saya memang mengusahakannya. Namun pada kenyataannya, tak semua kotoran itu keluar. Seperti sebuah keadaan defaultyang akan saya bawa terus sepanjang sisa usia, ada kotoran membandel yang tetap menyampahi saya.


Padahal saya tahu ketika air dalam wadah teraduk-aduk, kotoran yang mengemuka itu sebenarnya bukan sepenuhnya “milik saya”. Dia hanyalah sampah dari luka masa lalu yang masih saja bercokol karena selalu mendapatkan tantangan untuk muncul kembali. Susahnya, dalam keseharian, saya masih selalu harus menghadapi situasi yang mirip-mirip dengan kondisi tak enak di masa lalu itu.

Tetapi ketika suasana hati sedang keruh, ditambah beban pikiran yang menumpuk, saya seolah tak menyadari kalau emosi negatif yang muncul seharusnya lebih bisa saya kendalikan karena tak seutuhnya “milik saya”.

Oleh karena itu, beberapa kali saya katakan kepada suami (saya menuliskannya di tulisan Access Bars, Tools dari Access Consciousness untuk Menjadi Lebih Baik) bahwa saya butuh terapi suatu saat nanti, mengingat kondisi yang tak bisa dan tak mungkin saya elakkan sepenuhnya.



Sebenarnya sejak mempelajari KECERDASAN EMOSIONAL, saya belajar mendefinisikan perasaan saya. Kalau saya bahagia, kenapa? Kalau saya feeling blue, alasannya apa? Sejauh ini saya bisa melakukannya tetapi terkadang saya masih keteteran saat mengontrolnya.

Perasaan yang Tak Seutuhnya Dimiliki


Ketika seharusnya saya memilah-milah yang mana sebenarnya emosi yang “milik saya” dan mana yang bukan pada kondisi yang sulit terkontrol atau tak terkendali, kadang-kadang di situlah saya gagal dan kebablasan.

Nah, pada tanggal 27 April lalu saya merasa semakin tertarik ketika Dokter Dave menyampaikan pengantarnya bahwa ketika merasakan perasaan tidak enak, bisa jadi yang kita rasakan “bukan milik kita”. Mengapa? Karena manusia memiliki kemampuan untuk menangkap energi, termasuk energi negatif di sekitarnya.

Ketika masa kampanye calon presiden misalnya, saya menolak menelusuri time line media sosial karena segala hal negatif dari kedua belah pihak bisa mengacaukan perasaan saya. Kalau memaksa diri membaca caci-maki, saya bisa jadi bad mood sendiri.  

Sumber: www.accessconsciousness.com

Psikolog yang pernah saya saksikan menjadi pembicara dan beberapa pengalaman lainnya juga menjelaskan hal yang sama, yaitu bahwa emosi negatif seseorang itu bisa memengaruhi orang lain.

Seharusnya, sebagai manusia, saya bisa dong belajar untuk menghindari hal-hal negatif itu. Kalau masih sulit, bukan berarti saya boleh pasrah dan berharap orang lain saja yang mengerti saya apa adanya, kan? Kalian pastinya tidak mau, kan ujug-ujugsaya semprot tanpa alasan yang jelas?

Nah, manusia itu punya KESADARAN yang harusnya dipergunakan. Selain itu juga seharusnya menyadari bahwa hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Jadi, bukan pada tempatnya memberikan efek negatif kepada orang lain, juga tidak perlu menerima pengaruh negatif dari emosi orang lain.


“Cukup dengan aware, ini punya siapa,”kata Dokter David Budi Wartono. Dokter Dave mengajak untuk mengubah pertanyaan “apa yang dirasakan” menjadi “apa yang ditangkap/perceived. Kepada anak-anak sekali pun, Dokter Dave menyarankan untuk menanyakan “apa yang kamu tangkap” alih-alih menanyakan “apa yang kamu rasakan”.

Benar-benar Ikhlas dan Mau Berubah?


Selama praktik Access Bars, kami belajar untuk ikhlas, bukan hanya dalam melepas hal-hal negatif di dalam diri namun juga dalam mempraktikkannya kepada orang lain yang tidak saling kenal sebelumnya.

Dokter Dave sampai menanyakan apakah yang nge-bars dan di-bars sudah saling kenal sebelumnya. Sesi bars ini dilakukan berpasangan. Yang nge-bars tidak perlu, bahkan dilarang kepo untuk mencari tahu apa yang dialami atau dirasakan oleh orang yang di-bars-nya.

Sementara itu, yang di-bars tidak perlu mengungkapkan semua uneg-unegnya. Terkecuali hal-hal yang dia inginkan ungkapkan saja. Yang jelas, IKHLAS menjadi sebuah keharusan di sini. Ada posibility untuk berubah jika kita ikhlas untuk berubah– berubah menjadi lebih baik tentunya.



Saya teringat satu ayat Al-Qur’an yang artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka (Ar-Ra’d [13]: 11)

Kalau gambaran yang diberikan oleh Dokter Dave tentang kemauan berubah seperti orang yang perutnya sakit karena kepengen BAB tetapi dia tak melakukannya. Seharusnya dia ke toilet untuk BAB, eh dia malah tak mau melakukannya. Jadi, kalau memang mau berubah, harus punya komitmen.

Saya memahami penerapan ikhlas di dalam Islam “rahasia antara manusia dengan Allah”. Keikhlasan itu adanya di hati. Ada orang yang mengaku ikhlas (di mulutnya) tetapi hatinya berbeda. Oleh karena itu, hanya dirinya sendiri dan Allah semata yang mengetahui apakah ia telah benar-benar ikhlas atau tidak.

Di samping itu, berkali-kali Dokter Dave berpesan untuk no judgementdanno expectation. Hilangkan segala prasangka. Tidak boleh memberi penilaian tentang diri orang yang di-bars. Tak boleh juga memberi harapan atau menjanjikan manfaat yang di luar kuasa kita. Cukup menjelaskan apa manfaat yang bisa diperoleh.

Ok, noted. Empat hal yaitu
mau berubah, ikhlas,
no expectation, dan no judgment
harus digarisbawahi di sini.

Manfaat Ganda Access Bars


Namun menariknya, dalam Access Bars, baik yang di-bars maupun yang melakukan bars, keduanya mendapatkan manfaatnya. Ketika praktisi nge-bars, dia akan mendapatkan efek positif yang sama seperti yang bisa diperoleh oleh yang di-bars.

“Makanya Gary Douglas (founder Access Consciousness) bilang, ketika memberi satu sesi, kita dapat satu sesi pula,” kata Dokter Dave.

Menurut pengalaman Dokter Dave, meskipun melakukan bars kepada banyak orang, seperti pada sebuah bakti sosial yang dilaksanakan di Bandung belum lama ini, praktisi bars tidak merasakan kelelahan.


Sensasi Ketika Berlatih di Access Bars Class


Setelah menghadapi anak-anak, giliran kami – para orang tua yang dihadapi oleh Dokter Dave. Pada sesi clearing, Dokter Dave mempertanyakan kemauan berubah dan keikhlasan kami satu per satu. Kepadanya saya menceritakan mengenai fase-fase ekstrem yang pernah saya hadapi. Beberapa di antaranya merupakan fase jatuh ke titik nadir.

Saya membungkus perkataan dengan rapi dengan tidak mengatakan masalah yang sebenarnya. Saya menjelaskan garis besarnya tetapi sangat mewakili pikiran dan perasaan saya saat itu. Saya katakan apa keinginan saya, bagaimana keinginan keluar dari belenggu negatif – sisa-sisa dari fase ektrem tersebut.

Saya juga menyampaikan keinginan untuk menjadi sosok yang lebih positif sehingga kelak bisa membina hubungan yang lebih baik lagi dengan orang-orang terkasih dan yang berinteraksi dengan saya. Setelah semua peserta selesai ditanyai oleh Dokter Dave, kami mempelajari cara melakukan bars pada 32 titik di kepala.

Sumber foto: dr. David Budi Wartono

Ada sensasi seru selama melakukan 4 kali sesi bars dalam pelatihan Access Bars ini. Saya yang tidak pernah merasakan kepanasan dalam ruangan ber-AC, kali ini merasakan gerah sampai keringat bercucuran. Ketika menyentuh titik-titik yang ada dalam buku manual, ujung jari saya merasakan hawa panas.

Padahal saya ini tipe “manusia berdarah dingin” yang lebih betah berselimut di dalam kamar sempit tanpa AC di siang terik menyengat ketimbang berselimut di dalam ruang ber-AC  meskipun suhunya 25 derajat Celsius saja. Tapi rasa gerah yang saya rasakan tak sampai menyiksa. Perasaan nyaman-nyaman saja selama praktik.

Beberapa peserta terlihat tertidur pulas ketika di-bars sampai-sampai terdengar suara dengkuran halusnya. Saya sendiri merasa rileks, sempat dua kali hendak jatuh tertidur tetapi entah kenapa malah tersentak untuk kembali sadar sepenuhnya.

Sertifikat saya dan putri saya.

Efek positif yang saya rasakan usai bars saya bisa definisikan keesokan harinya, seperti yang saya ceritakan pada tulisan berjudul Access Bars, Tools dari Access Consciousness untuk Menjadi Lebih Baik. Rencananya setelah tulisan ini, saya akan menuliskan pengalaman khusus saya dan putri saya Athifah saat nge-bars/di-bars.

Sampai hari ini – setelah beberapa kali sesi nge-bars-di-bars ada beberapa sensasi seru. Mengingat-ingat penjelasan Dokter Dave, saya menangkap satu hal lagi, yaitu bahwa dengan tools ini, kesadaran (awareness) kita akan lebih meningkat.

Sepertinya itulah yang terjadi secara khusus antara saya dan suami. Salah satu hal yang saya rasakan adalah awareness saya kepada suami saya semakin besar. Buktinya, ketika dia menatap saya saja rasanya seperti terbang ke langit 😆.

Foto bersama. Sumber foto: Dokter Dave.


Makassar, 7 Mei 2019

Bersambung

Keterangan:

Baca tulisan sebelumnya, ya: Access Bars, Tools dari Access Consciousness untuk Menjadi Lebih Baik (ada tentang perubahan setelah ikut kelas Access Bars yang saya rasakan di dalam situ)

Apabila Anda berminat mengubah hidup menjadi lebih baik, lebih bahagia, dan lebih menghasilkan, silakan klik link “Info Group for Sulawesi” berikut ini untuk mendapatkan informasi mengenai jadwal terdekathttps://chat.whatsapp.com/Et4BdVRiGGPLYKeg6i38WY


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1573

Trending Articles