Lepaskan Beban Perbaiki Hubungan dengan Orang Tua– Seperti janji saya dalam tulisan berjudul Terkait Hubungan Kita dengan Kakek Nenek Selama Pandemi sebelumnya, Bunda Elly memberikan tinjauan dari segala sisi terkait hubungan antara orang tua yang sudah sepuh (berusia sekira 60 tahun ke atas) dengan anaknya yang tak muda lagi. Seperti saya dan mungkin Anda yang membaca tulisan ini.
Luka-luka Pengasuhan
Jika kita punya emosi negatif, luka pengasuhan, nyaris tak mungkinlah ya sama sekali tak ada kenangan positif dengan ayah-bunda dulu. Misalnya kenangan ketika dibawa jalan-jalan, diberikan oleh-oleh, dan sebagainya.
Selain itu, untuk memperbaiki hubungan dengan orang tua. Juga agar mampu mengasuh serta mengasihi orang tua sebagaimana tuntunan agama ... hanya bisa dimulai satu cara, yaitu dengan membereskan persoalan kita dengan diri kita sendiri.
Membereskan Masalah di dalam Diri
Belajar Memahami Apa yang Terjadi pada Orang Tua Kita Dulu
Terapi Diri untuk Memerdekakan Jiwa dari Emosi Negatif
Lanjutkan dengan teknik relaksasi: mengingat pengalaman indah dulu dengan orang tua. Disimpan, kita gantikan yang jelek-jelek tadi dengan yang positif. Baring di lantai. Tarik nafas bayi, tarik perutnya gembung, pada saat dilepas perutnya kempes.
Cara Lain yang Bisa dilakukan
Karena Masa Takkan Berulang
Selanjutnya, Bunda Elly menyarankan untuk minta maaf juga kepada anak-anak, katakan bahwa kita bukan dengan sengaja menyakiti hati mereka. Hal ini akan lebih meringankan langkah kita.
Luka-luka Pengasuhan
SANDWICH FEELINGyang timbul bisa macam-macam jenis emosi seperti bingung, takut, cemas, kesal, dan sebagainya. Emosi tersebut bisa menimbulkan reaksi pada anggota keluarga lainnya. Emosi negatif yang timbul, bisa saja memang sudah ada sejak dari dulu dan muncul secara intens sekarang, selama masa pandemi.
Sandwich feeling ini maksudnya adalah perasaan yang muncul karena kita berada di tengah, antara mengurus orang tua dan mengurus anak.
Sandwich feeling ini maksudnya adalah perasaan yang muncul karena kita berada di tengah, antara mengurus orang tua dan mengurus anak.
Mengapa ada sejak dulu? Meminjam istilah Mbak Nisa – sang moderator diskusi, karena munculnya dari “luka-luka pengasuhan”.
“Jangan-jangan itu emosi kakek-nenek dulu,” Bunda Elly menambahkan. Setelah mengenali emosi negatif, beliau mengajak untuk mengenali emosi-emosi positif yang pastinya ada pada masa kecil dulu.
Jika kita punya emosi negatif, luka pengasuhan, nyaris tak mungkinlah ya sama sekali tak ada kenangan positif dengan ayah-bunda dulu. Misalnya kenangan ketika dibawa jalan-jalan, diberikan oleh-oleh, dan sebagainya.
Emosi negatifyang muncul, jejak luka masa lalu berasal dari pola pengasuhan yang menghakimi, melabeli, membandingkan, dan sebagainya. Semua kata-kata yang pernah terlontar seperti “nakal, jorok, malas, bodoh” dan serentetan omelan seolah menjadi cap yang tak terlihat tapi membekas dalam diri kita karena berlangsung selama bertahun-tahun.
Pola pengasuhan orang tua yang membentuk emosi negatif selama bertahun-tahun kini menjadi hambatan utama untuk mendekat, berdialog, dan mengerti orang tua kita. Hal ini tak kita sadari namun disadari pun tak enak mengangkatnya ke permukaan.
Kenangan akan perlakuan yang tujuannya baik tetapi rasanya membekas tak enak itu terlalu kuat menancap. Padahal di sisi lain, kita dituntut untuk memperlakukan orang tua dengan baik. Dalam Islam, anak dilarang bermuka masam dan berkata AH pada orang tua, apalagi berkata kasar.
Bagi yang punya banyak luka masa lalu, di dalam diri terasa ada hambatan yang sangat besar, berbeda halnya dengan yang masa kecilnya penuh dengan kenangan indah dan orang tua yang penuh pengertian.
Di sisi lain, masa pandemi ini menuntut seorang ibu untuk bukan hanya menjadi ibu sekaligus ibu guru yang baik bagi anak yang sedang bersekolah di rumah, sekaligus dituntut menjadi koki yang baik, istri yang baik, manajer keuangan yang baik, dan anak yang baik. Sungguh, tekanan itu datang dari mana-mana dan mengejawantah dalam berbagai rasa.
Selain itu, untuk memperbaiki hubungan dengan orang tua. Juga agar mampu mengasuh serta mengasihi orang tua sebagaimana tuntunan agama ... hanya bisa dimulai satu cara, yaitu dengan membereskan persoalan kita dengan diri kita sendiri.
Membereskan Masalah di dalam Diri
Beberapa cara yang mudah untuk dilakukan diberikan oleh Bunda Elly agar bisa memperbaiki hubungan dengan orang tua, merujuk kepada Qur’an surah Ali Imran ayat 159.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Kita sebenarnya dianugerahi Allah memiliki sifat lemah-lembut tetapi pengalaman hidup membentuk seseorang menjadi keras, kasar, hatinya mengeras. Termasuk pengasuhan orang tua yang tidak sengajalakukan kepada anak juga menjadi salah satu penyebabnya.
Kenangan-kenangan manis tertutupi oleh emosi-emosi negatif yang muncul bertubi-tubi selama bertahun-tahun.
Lalu, hal yang sama kita rasakan dulu akankan kita berlakukan kepada anak-anak kita?
Di sini saya sadar sepenuhnya, hal ini pernah menjadi bahan pemikiran saya. Saya tahu jika ada yang tak beres dalam diri saya, saya akan merefleksikan ketidakberesan itu dalam berinteraksi dengan anak-anak. Mendengar ini saya istighfar dan menangis.
“Tolonglah Nak, maafkan Mama.
Kan dulu Ayah dan Mama nggaksengaja
melakukan itu terhadap kamu,” ucap Bunda Elly
yang memerankan dirinya sebagai ibu dari para peserta.
Walaupun pemahaman agama (secara kognisi) bagus, emosi negatif bisa saja muncul tanpa disadari. Sementara kita berada serumah dengan orang tua dan anak-anak, selama 24 jam, entah sampai kapan.
Tentunya tak elok memunculkan pembenaran. Konsekuensi logisnya adalah anak-anak melihat perilaku kita sebagai orang tuanya dan kelak bisa memperlakukan hal yang sama kepada diri kita!
Kemudian Bunda Elly memperlihatkan sebuah perspektif yang baru saya sadari kali ini. Yaitu keadaan yang berlangsung secara turun-temurun!
Belajar Memahami Apa yang Terjadi pada Orang Tua Kita Dulu
Jadi, orang tua kita dulu juga mengalami pola pengasuhan yang meninggalkan luka-luka dalam dirinya. Sementara kakek-nenek kita juga mewarisinya dari orang tua mereka dan meninggalkan luka pengasuhan kepada orang tua kita.
Selain itu, ada masalah pada saat mid life crisiskarena banyak sekali yang terjadi sementara anak-anak pada saat itu sedang dalam masa puber. Orang tua kita dulu mengalami ini. Ada masalah kompleks dalam pekerjaan dan kehidupan dengan pasangan kalau fondasi agama tak kuat. Banyak hal bisa terjadi dengan keluarga besar atau pekerjaan.
Berbagai masalah keluar, dalam diam. Orang tua kita bisa tiba-tiba mengeluarkan reaksi yang tak terduga kepada kita. Ibarat kerikil dalam sepatu, pasti mengganggu tapi diabaikan, dipakai terus sepatunya.
Kita tak tahu banyak sekali latar belakang orang tua kita. Kita tak tahu “bagaimana kerikil dalam sepatu”. Bagi sebagian orang, kepuasan perkawinan itu terendah ketika anak memasuki usia remaja. Lalu orang tua bertemu anak yang tengah bergejolak dalam masa pubertas.
Tak semua orang kehidupan pernikahannya bagus. Tak kita ketahui latar belakang pernikahan orang tua. Apa yang terjadi dalam pernikahan mereka.
Ibarat mixer di dalam mangkuk sementara mengaduk adonan yang ditarik tiba-tiba maka muncratlah ke mana-mana. Itulah makanya ada emosi-emosi yang terasakan oleh kita sebagai anak. Terlalu luas untuk dimengert semuanya. Tidak kita tapaki semua jalan kehiduan orang tua kita.
Lalu, apakah kita masih akan melanjutkannya kepada anak-anak kita?
Memaafkan bukan hal yang mudah bagi sebagian orang. Berharaplah hanya kepada Allah untuk memerdekakan jiwa.
Terapi Diri untuk Memerdekakan Jiwa dari Emosi Negatif
Ibu Elly mengajak untuk melakukan upaya “membersihkan diri sendiri”. Misalnya ketika shalatmalam, turunkan kesadaran dengan berzikir. Lalu letakkan jari menjadi detektor di atas bagian tubuh kita.
- “Wahai lenganku aku izinkan untuk menjadi detektor untuk merasakan yang mana bagian tubuhku yang merasa berat karena menyimpan catatan-catatan emosi,” ucapkan pada lengan.
- “Wahai telapak tanganku, aku izinkan engkau untuk mencabut semua rasa sakit yang telah merupakan beban bagiku,” ucapkan pada telapak tangan.
- Kalau perlu pakai 2 tangan, lakukan gerakan ambil – buang, ambil buang. Bayangkan peristiwa, hilangkan kenangan, suara, wajah sampai tak ada, sampai ringan.
- Jangan lupa katakan: “Saya perlu jiwa, pikiran, pendengaran, diri saya saya merdeka”. Lakukan berulang-ulang sampai skor emosi negatif semuanya jadi nol. Hal ini kita lakukan karena kita butuh memerdekakan diri dulu untuk menghadapi anak dan orang tua.
- Setelah itu ber-shalawat sembari mendengungkannya sampai terasa di kepala untuk membersihkan semuanya yang belum bersih di dalam dada. Biasakan dilagukan yang rasanya enak di hati. Bayangkan nanti kita berharap syafa’at Rasulullah. Saatnya minta ampun kepada Allah, saatnya bermunajat. Memang harus meluangkan waktu.
Saatnya kita minta kepada Allah agar bisa berbakti kepada orang tua dengan seikhlasnya supaya terlepas semua hambatan yang ada. Sekarang bulan Ramadhan. Bagaimana supaya Ramadhanmembawa berkah baru dan itu harus bermula dari kita dulu dengan memerdekakan diri kita terlebih dulu.
Lanjutkan dengan teknik relaksasi: mengingat pengalaman indah dulu dengan orang tua. Disimpan, kita gantikan yang jelek-jelek tadi dengan yang positif. Baring di lantai. Tarik nafas bayi, tarik perutnya gembung, pada saat dilepas perutnya kempes.
Terus lakukan itu. Saat mengambil nafas, tarik 3 detik, tahan 3 detik, buang 3 detik. Atau tarik 5, tahan 5 detik, buang 5. Supaya oksigen bisa sampai ke otak dan kita bisa berpikir. Ketika tarik napas bayangkan kenangan indah masa kecil dengan orang tua, tarik 3, tahan 3, lepaskan 3.Tujuan untuk mengganti kenangan/cap jelek masa lalu dengan kenangan indah.
Cara ini bisa meningkatkan imunitas tubuh. Secara fisiologis ada penjelasannya tetapi tak memungkinkan untuk dijelaskan. Selain itu lakukan pula olahraga sederhana setiap hari untuk me-maintain emosi-emosi negatif tadi.
Cara Lain yang Bisa dilakukan
Marah dari api, api bisa padam dengan air. Teknik yang disarankan Imam Al Ghazali. Dari segala penyakit, obatnya adalah lawannya. Marah adalah sabar. Manfaatnya adalah kalau kita menahan marah, akan memunculkan pahala.
Caranya adalah
- Dengan memunculkan cinta kepada Allah. Dengan cinta, kita rela diapa-apain oleh Allah. Dengan cinta kepada Allah maka kita cinta kepada orang tua. Ini terkait relasi dengan orang-orang di sekitar kita termasuk pasangan, dan lain-lain. Akan timbul perasaan positif karena segala yang negatif dilawan dengan yang positif. Yang positif setelah itu dibesarkan, untu mengecilkan yang negatif.
- Ridho menerima semuanya. Penderitaan itu dihadapi dengan ridho tanpa marah karena yakin semua datangnya dari Allah. Allah tak menakdirkan sesuatu melainkan kebaikan. Apa yang dilakukan orang tua kita dulu sebenarnya bermaksud baik.
- Menghilangkan tanda kemarahan. Ubah posisi, misalnya yang tadinya duduk maka berdirilah.
- Jika muncul perasaan negatif, tarik nafas panjang lalu tatap langit dan lihat. Katakan bahkan kita mengharap pahala dari Allah, lalu mengapa tak menghilangkan emosi negatif. Lalu lihat ke bumi, ingat azab di dalam kubur.
Kalau Umar bin Khattab, berkumur-kumur dengan air dingin. Falsafahnya api kalah dengan air jadi kita tak sempat untuk marah-marah lagi.
Inilah yang harus dilakukan supaya bisa berbuat lebih baik kepada orang tua.
Karena Masa Takkan Berulang
Jika memungkinkan datang kepada orang tua dan bermusyawarah, tanyakan kepadanya mengapa melakukan hal-hal negatif dahulu dengan menyelesaikan masalah antara kita dan orang tua. Jelaskan bahwa hal yang tak enak di masa lalu menimbulkan bekas tak enak di masa sekarang yang membuat kita memperlakukan anak-anak dengan tak enak pula.
Jika orang tua menolak katakan bahwa umur tak ada yang bisa menebak, bisa saja diri kita yang lebih dulu menghadap kepada Ilahi maka masalah antara kita dan orang tua perlu diselesaikan. Ibu Elly mengatakan agar kita meminta maaf kepada orang tua.
Ketahuilah orang tua kita “kembali anak-anak”, sebagaimana anak-anak, orang tua kita juga butuh pelukan dan kasih sayang. Bukan sekadar ditanyakan mau makan dan minum apa tapi ada jarak “emosi” yang terbentang karena masih ada emosi-emosi negatif yang mengganjal.
Bunda Elly memberikan ilustrasi dulu saat kecil, ketika sakit, ibu mendekap diri kita. Begitu pun perlakuan kita kepada anak. Ketika sakit, kita akan mendekapnya. Sekarang pun, itulah yang dibutuhkan orang tua kita. Makanya ketika anak tak datang, orang tua menelepon karena rindu. Orang tua butuh kehangatan dari anak dan cucu.
Bukan hanya kepada orang tua kandung, lakukan hal yang demikian pula kepada mertua namun perbaiki dulu hubungan dengan pasangan.
Selanjutnya, Bunda Elly menyarankan untuk minta maaf juga kepada anak-anak, katakan bahwa kita bukan dengan sengaja menyakiti hati mereka. Hal ini akan lebih meringankan langkah kita.
Kemudian rumuskan ulang apa yang ingin dicapai selama lock down ini, apa ingin diperbaiki dengan orang tua. Mengapa? Karena waktu berjalan terus. Ramadhan ini ada bersama orang tua belum tentu ada Ramadhan tahun depan. Tak ada yang tahu umur kita kapan batasnya.
6 aspek memberikan perhatian kepada orang tua
- Apakah cukup waktu dan kasih sayang? Jika kepada anak kita berharap bisa mencicilnya, sama demikian pula kepada orang tua seharusnya.
- Spiritual, sudahkah membantu? Misalkan menggenapkan bekalnya seperti terjemahan, mengantarkan ke kelompok pengajiannya.
- Kesehatan, apakah sudah memperhatikan kesehatannya misalnya melengkapkan kesehatannya dengan fisioterapi misalnya.
- Emosi, apakah kita sudah menjadi pendengar yang baik misalnya.
- Sosial, misalnya mengantarkan ke orang-orang yang ingin beliau temui atau bersosialisasi, bawa ke salon (Bunda Elly juga senang bawa ibunya ke salon).
- Fisik, misalnya menyentuhnya, jangan memakai sarung tangan ketika membersihkannya.
Dan quotes yang dilontarkan Bunda Elly ini sungguh bikin baper:
“Bagaimana dirimu memperlakukan anakmu, begitu pun ibumu mau kau memperlakukannya,” tukas Bunda Elly.
“Jangan lupa, Anda akan tua. Anak Anda sekarang memperhatikan bagaimana Anda memperlakukan orang tua Anda. Kelak dia pun akan berlaku seperti itu,” ucap Bunda Elly.
Bunda Elly kembali menyinggung mengenai orang tua sepuh kita yang butuh dekapan hangat, butuh belaian. Mengenai usia mid life (sudah saya tulis di atas) dengan segala krisisnya dan sebagian dari peserta sedang dalam tahapan itu pula.
“Kalau semua tak sanggup kamu ubah, belajarlah untuk menerimanya.”
“Teruslah belajar. Seperti belajar menjadi orang tua, teruslah belajar menjadi anak bagi kakek-nenek apalagi di masa Covid ini.”
“Perdalamlah gerontology – yang mana tak ada di Indonesia. Gerontology adalah jurusan menjadi orang tua. Belajarlah menjadi terapis, terapis bagi diri sendiri, bagi anak, dan bagi orang tua.”
Sungguh pembelajaran yang sangat membuka wawasan. Saya jadi mampu melihat hal-hal lain yang dulu tak bisa saya lihat di antara hubungan saya dengan orang tua.
Beberapa di antaranya sudah pernah saya dapatkan dalam perjalanan “mencari kesejatian” dan Bunda Elly melengkapinya dalam pertemuan virtual via Zoom meeting pada tanggal 9 Mei lalu. Semoga saya bisa menjadi anak yang baik.
Makassar, 21 Mei 2020