Menembus Batas Bersama Diriku yang Lain - “Oh ya … ?” dari raut wajahnya terlihat perempuan itu tertegun. Mulutnya mengeluarkan suara berdecak tapi bukan decakan kagum karena terlihat dari caranya memandangku. Cara memandang melecehkan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menelisik diriku dari kepala hingga kaki, lalu naik ke kepala lagi. Caranya memandangiku menimbulkan perasaan insecure. Dengan kacamata yang agak melorot di batang hidung, bola matanya naik di bagian atas rongga matanya, dia melempar pandangan dari bagian atas frame kacamatanya. Dengan tatapan yang rasanya seperti menguliti diriku tak hentinya dia menggeleng-gelengkan kepala.
Hinaan yang Membekas
Sepersekian detik jantungku rasanya berhenti berdetak. Pagi jelang siang itu, di dalam ruang kantor perempuan itu yang ber-AC, tubuhku terasa semakin dingin dan semakin dingin. Ingin rasanya memiliki kemampuan menghilangkan diri seketika atau mengerdilkan diri serupa tikus lalu bergabung saja dengan tikus-tikus got di depan kantor perempuan terhormat itu. Untuk kesekian kalinya, harga diri dan rasa percaya diriku tertebas ke titik nadirnya oleh sesama perempuan!
Sungguh cara bereaksi yang takkan pernah kulupakan. Cara bereaksi sebagian orang ketika mengetahui, seseorang sepertiku, seorang sarjana teknik dengan IPK cukup bagus, lulusan universitas terkemuka di Indonesia timur – salah satu yang terbaik di Indonesia tapi HANYA seorang ibu rumah tangga. Ungkapan “dia itu sarjana teknik tapi cuma jadi ibu rumah tangga” memang sering kudengar tapi tak ada yang seberlebihan dia reaksinya.
Mungkin wajar baginya, mengingat dia seorang pekerja mandiri yang sukses. Setiap hari menandatangani bermacam akta yang dibawakan asistennya ke ruangannya lalu uang mengalir deras ke rekeningnya. Sementara aku hanya ngemong anak setiap harinya – setidaknya itu saja yang diketahuinya.
Lagi pula malas rasanya menceritakan aktivitas menulisku selama ini kepada orang yang sudah telanjur under estimate seperti itu. Padahal diriku pernah mendapatkan Kesempatan Emas: Berpartisipasi Dalam Makassar International Writers Festivalpada salah satu sesinya tahun 2012, sudah menerbitkan buku, pernah memenangkan lomba blog, tulisanku pernah dimuat di media cetak, dan sudah mendapatkan fee sebagai freelancer.
Tak kupungkiri, diriku terpengaruh dengan reaksi perempuan itu apalagi yang menyampaikan kepadanya seseorang yang juga berpengaruh padaku. Andai belum sampai informas SARJANA TEKNIK YANG HANYA IBU RUMAH TANGGA, dia mungkin tak mengeluarkan tatapan dan ungkapan yang sesarkastis itu. Dalam waktu yang cukup lama, aku harus berjuang untuk menaikkan rasa percaya diri dan harga diri kembali ke titik normalnya.
Menurutku, perempuan sesukses dirinya seharusnya lebih legawa dalam bersikap, tidak boleh juga senaif itu dalam menilai orang. Memangnya salah ya pilihan menjadi ibu rumah tangga tanpa berkarier di ranah publik sama sekali? Sebegitu hinanya sampai dia bereaksi seperti itu?
Namun demikian kusadari juga bahwa otak dan hati semua manusia isinya tak sama. Pasti ada yang pro dan kontra terhadap sesuatu. Orang-orang seperti perempuan itu tak urung membuat perempuan sepertiku tercemar oleh toksik yang mematikan potensi untuk berkembang. Tapi tidak untukku. Racunnya memang melemahkanku tapi aku tidak pernah berhenti belajar dan terus memperbaiki diri sampai saat ini.
Kejadian 7 tahun lalu itu masih sesekali mengisi ruang memori, bergantian dengan rasa syukurku saat ini. Berkelindan pula dengan rasa takjub dengan kuasa Allah. Masih teringat jelas kejadian pada suatu hari di bulan April 2022 …
Berkelana ala Versi Diriku yang Lain
Seperti biasa, hari itu diriku berjibaku dengan aktivitas ngeblog dan segala macam urusan lain di rumah, beserta aktivitas lain yang lebih banyak kulakukan dari rumah. Personal computer dan gadget tak hentinya beroperasi untukku. Seorang perempuan yang mengaku dari customer care IndiHome menghubungiku.
![]() |
Berfoto bersama Pak Nuryadin Salam (GM Witel Makassar) dan tim. |
“Kami akan mengunjungi Ibu untuk bersilaturahmi. Kapan Ibu ada waktu?” tanya suara dari seberang.
“Setelah zuhur, in syaa Allah, Mbak. Saya tunggu,” jawabku. Senang juga rasanya akan didatangi karyawan IndiHome. Sepertinya pihak IndiHome Makassar telah membaca 2 tulisanku yang bercerita mengenai pengalaman menggunakan IndiHome.
Sebagai penyedia internet keluarga, IndiHome memang banyak membantu aktivitas kami sekeluarga sehingga aku membuat 2 tulisan panjang berjudul Solusi Berkarya Tanpa Batas dari Rumah dan Pengalaman Sebagai Blogger, Jadi Saksi Internet Menyatukan Indonesia.
“Pengembaraanku” berinternet selama ngeblog sejak tahun 2006 membawaku pada kenyataan-kenyataan tentang adanya potensi dalam diriku yang bisa kukembangkan dari rumah saja dan tetap dekat dengan anak-anak. Aku bagaikan “menemukan diriku yang lain”. Bukan benar-benar lain sih, maksudnya “versi lain diriku”.
Secara pengembangan diri, aku yang sekarang bukanlah orang yang sama persis seperti diriku 20 tahun yang lalu. Allah menunjukkan banyak jalan ajaib yang menjadi cerita tanpa batas dari seseorang yang hanya ibu rumah tangga biasa untuk menembus ruang dan waktu dari rumah saja. Berjejaring dengan banyak orang dan menemukan berbagai keajaiban melalui aktivitas ngeblog.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Melalui pesan teks Whatsapp, Mbak Customer Care menghubungiku, mengatakan bahwa mereka sudah berada di dekat rumah. Dia menanyakan lokasi persisnya di mana. Segera kuberikan petunjuk lalu menunggu tetamu di teras.
Aku terkesiap ketika mengetahui ada 2 mobil yang mengunjungiku siang itu. Salah satunya membawa Pak Nuryadin Salam – GM Witel Makassar dari Telkom Group. Sungguh sebuah kehormatan, orang biasa sepertiku menerima kunjungan seorang general manager BUMN besar!
Aku merasakan ketulusan dari Pak Nuryadin dan timnya selama kami berbincang. Testimoni pertama kuberikan langsung di hadapan mereka. Mengapa kusebut pertama? Nanti akan kuceritakan bagaimana aku bertestimoni atas layanan internetnya Indonesia yang kedua kalinya dari atas podium.
Oleh Mbak Customer Care IndiHome yang menghubungi sebelumnya, aku dipersilakan menyampaikan kritik jika ada. Sayangnya aku beneran tak punya kritik karena telah merasakan perbaikan layanan IndiHome karena kedua orang tuaku berlangganan leased line Telkom sejak lama, sejak diriku masih SMA dan sekarang aku yang melanjutkan penggunaan nomornya untuk kebutuhan internet keluarga kami.
Kusampaikan pengalaman menggunakan nomor pengaduan hunting di 147 yang entah kenapa sering terputus ketika kuhubungi melalui gadget hingga akhirnya aku pindah ke Twitter untuk menyampaikan pengaduan sejak tahun 2020. Pak Nuryadin menanggapi, sekarang bisa menggunakan aplikasi MyIndiHome untuk melakukan pengaduan.
Pertemuan pertama dengan Pak Nuryadin dan timnya berkesan buatku. Takdir mempertemukan kami lagi pada tanggal 17 Juni kemarin, di acara gathering pelanggan prioritas IndiHome bertajuk SIPAKATAU.
Bertestimoni di Atas Podium
Kusanggupi permintaan itu makanya ketika MC meminta untuk bertestimoni pada kesempatan pertama usai Pak Nuryadin Salam memberikan sambutan, aku pede saja tapi aku terkejut ketika MC memintaku naik ke atas panggung dan berbicara di podium.
Astaga, kupikir hanya dari tempat duduk saja. Berbicara di atas panggung, di atas podium pula, dalam tatapan puluhan orang di On20 Dining Sky Lounge itu bukan hal biasa bagiku. Orang sepertiku butuh waktu untuk memvisualisasikannya dan meyakinkan bahwa diriku bisa terlebih dulu sebelum menjalaninya.
Ketika tangan MC mengarahkanku naik ke panggung dan podium, dengan lugu kutatap MC dengan tatapan mata mengisyaratkan tanya sembari menunjuk podium yang ditunjuk olehnya, “Di situ?” MC mengangguk. Ya Allah … untungnya tadi sudah kurapal doa Nabi Musa. Berdoa sebelum berbicara sembari ditatap sejumlah orang memang sudah menjadi jalan ninjaku agar penuturanku tak belepotan.
Aku naik ke podium. Dari arah hadirin aku pasti terlihat kecil di podium tinggi ini. Bibirku mengucap salam. Tapi … koq tak terdengar suaranya ya? Dengan bingung kutatap mikrofon. Aku tak terbiasa dengan mikrofon di podium atau di meja. Ini di mana ya setting audionya?
Salah seorang teknisi membantuku, menyalakan tombol on untuk audionya. Ya ampun, mudah sekali ternyata.
Satu – dua menit berikutnya, aku masih disusupi rasa gugup. Sempat salah ucap lalu meminta maaf namun setelah itu, testimoni kuceritakan dengan lancar. Aku menceritakan bahwa telepon rumah sudah dipergunakan kedua orang tua sejak tahun 1989 atau 1990-an awal – aku tak ingat persisnya.
Nomornya tak pernah dilepas hingga saat ini. Almarhumah ibuku dulu tak mau menggunakan handphone, hanya mau telepon rumah makanya mudah meminta aktivasi internetnya Indonesia (IndiHome) karena perangkat sudah tersedia di rumah kami.
Tahun 2018, saat ibuku minta aku komplain perihal putusnya sambungan telepon, pihak Telkom Group langsung mengganti kabel lama dengan kabel serat optik dan memberikan kami modem padahal kami belum ingin memasang akses internet kala itu.
Beberapa pengalaman menarik kuceritakan, salah satunya ketika talkshow dengan RRI Pro 1 Makassar via Zoom yang juga streaming via YouTube RRI Makassar yang alhamdulillah berlangsung lancar dengan internet yang stabil sampai acara selesai. Singkat cerita, permintaan testimoni hari itu berlangsung lancar. Kegugupan hanya terjadi pada awal-awal saja. Selanjutnya tidak ada halangan lagi.
Sebenarnya ingin bercerita lebih banyak lagi sih karena sebagai seorang introvert, diriku bisa mendadak jadi extrovert ketika menceritakan pengalaman ngeblog selama ini saking banyaknya pengembangan diri yang kurasakan dan pengalaman berkesan yang kualami. Namun demikian aku sadar diri hanya berkesempatan memberi testimoni, bukannya sebagai nara sumber talk show seperti yang kualami tanggal 15 Juni kemarin.
Makassar, 19 Juni 2022
PERHATIAN:
Tulisan ini dibuat ala cerpen IndiHome, berdasarkan kisah nyata penulisnya.